Lelaki linglung menulis beberapa bait prosa :
” Siapalah aku yang tersurat takdir ?
Terlahir dengan memikul mentari diatas ubun ubun kepalaku.
Khatulistiwa menyengat nasibku bersama celoteh burung burung “rangkong” yang meriuhkan hutan rawa.
Berkawan baik dengan sang alam, atau berjalan selaras seiringan dengan aliran sungai barito bak ular raksasa yang mengitari hutan mangrove.
Riwayat mencatat, ragaku yang ditandai dengan nama anak lelaki ini memang bersuku asli daratan seberang lautan. Namun jiwaku, menemukan sukmanya seperti suku pribumi tanah gambut ini.
Senyatanya, siapakah aku ini ? “